Jumat, 06 Mei 2011

KECERDASAN EMOSIONAL



A.     Apakah emosi itu ?


Menurut Oxford English Dictionary  emosi di defenisikan sebagai “setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu; setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap”. Jadi emosi  merujuk pada  suatu perasaan  dan fikiran – fikiran khasnya, suatu  keadaan biologis dan psikologis, dan  serangkaian  kecendrungan untuk bertindak. Ada ratusan emosi,  bersama dengan campuran, variasi,mutasi, dan nuansanya. Sungguh terdapat  lebih banyak keadaan emosi dari jumlah kata yang kita miliki,  seakan kita tak punya  perbendaharaan kata yang cukup memdai untuk mengungkapkannya.
Menurut English and English, emosi adalah “A complex feeling state accompained by characteristic motor and glandular activies” (suatu keadaan perasaan yang kompleks yang disertai karakteristik kegiatan kelenjar dan motoris). Sedangkan menurut Sarlito Wirawan Sarwono berpendapat bahwa emosi merupakan setiap keadaan pada diri seseorang yang disertai warna afektif baik pada tingkat lemah (dangkal) maupun pada tingkat yang luas (mendalam).
Daniel Goleman ( Emotional  Intelligency, hal. 7) mengemukakan bahwa akar kata emosi  berasal dari kata kerja  movere ( bhs Latin) yang berarti  ”mengerakkan, bergerak”, ditambah awalan “e” untuk memberi arti  “bergerak menjauh”, menyiratkan bahwa  kecendrungan bertindak merupakan   hal mutlak dalam emosi. Bahwasanya  emosi memancing tindakan, tampak jelas bila kita mengamati binatang  atau anak-anak; hanya  pada orang – orang dewasa   yang “beradab” kita begitu sering menemukan pengecualian besar dalam dunia makhluk hidup, emosi ( akar dorongan untuk bertindak ) terpisah dari reaksi-reaksi tampak di mata.

Daniel Goleman  mengelompokkan emosi kedalam  beberapa kelompok


No

Jenis emosi

Persamaannya

Detil  fisiologis

1.     

Amarah[1]
(lihat juga emosi beracun: Daniel G, hal. 238- 251)


  Beringas, mengamuk, benci, marah besar, jengkel, kesal hati, terganggu, rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan, dan barang kali  yang paling hebat, tindak kekerasan dan kebencian patologis

Bial darah  amarah  mengalir ke tangan, mudahlah tangan seseorang  menyambar senjata atau menghantam lawan; detak jantung  meningkat dan banjir horman  seperti adrenalin  membangkitkan gelombang energi yang cukup kuat untuk bertindak dahsyat
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Paul Ekman,”amarah adalah emsoi paling berbahaya; sejumlah  masalah utama yang menghancurkan kehidupan masyarakat dewasa ini melibatkan gejolak amarah.Amarah adalah meosi yang paling sulit diajak  beradaptasi, karena amarah mendorong kita untuk bertikai. Emosi kita berevolusi  bila kita  bila kita mempunyai  tekologi untuk bertindak dengan gaya tinggi terhadap emosi itu. Dalam zaman prasejarah, apabila anda mendadak marah dan selama sedetik ingin membunuh seseorang, anda tidak mampu melakukannya dengan amat mudah-tetapi sekarang anda dapat melakukannya”( Daniel Goleman, EQ: hal 438
2.     
Kesedihan
Pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan kalau menjadi patologis, depresi berat.
Salah satu fungsi pokok  rasa sedih  adalah untuk menolong menyesuaikan diri akibat kehilangan yang menyedihkan, seperti kematian sahabat atau kekecewaan besar. Kesedihan menurunkan energi dan semangat hidup  untuk melakukan kegiatan sehari-hari, terutama kegiatan perintang waktu dan kesengan. Dan, bila kesedihan  itu semakin  dalam dan mendekati depresi, kesedihan akan memperlambat metabolisme tubuh. Keputusan untuk introspektif menciptakan  peluang untuk merenungkan kehilangan atau harapan yang lenyap, memahami akibat-akibatnya terhadap kehidupan seseorang, dan  - bila semangatnya telah pulih- merencanakan awal yang baru. Hilangnya energi ini boleh jadi telah membuat manusia-manusia purba yang bersedih – dan rentan terhadap serangan- tetap dekat dengan rumah, tempat mereka lebih terlindung
3.     
Rasa Takut
Cemas,takut,gugup,khawatir, waswas, perasaan takut sekali, khawatir, sedih, tidak tenang, ngeri, takut sekali, kacut; sebagai patologi, fobia dan panik.
Bila darah ketakutan  mengalir ke otot-otot  rangka besar, seperti di kaki, kaki menjadi lebih mudah diajak mengambil langkah seribu dan wajah menjadi pucat seakan –akan  darah tersedot dari situ menimbulkan perasaan bahwa darah menjadi “dingin”. Pada waktu yang sama, tubuh membeku, walau hanya sesaat, barangkali mencari tempat persembunyian adalah  reaksi yang lebih baik. Sirkuit-sirkuit di pusat-pusat  emosi otak memicu terproduksinya  hormon-hormon yang  membuat tubuh waspada, membuatnya awas dan siap bertindak, dan perhatian tertuju pada ancaman yang dihadapi, agar reaksi yang muncul semakin baik
4.     
Kenikmatan
Bahagia,gembira, ringan, puas, riang, senang, terhibur, bangga, kenikmatan indrawi, takjub, rasa terpesona, rasa puas, rasa terpenuhi, kegirangan luar biasa, senang, senang sekali, dan batas ujungnya, mania
Salah satu di antara perubahan-perubahan biologis utama akibat timbulnya kenimatan adalh  meningkatnya kegiatan di pusat otak yang menghambat perasaan negatif dan meningkatkan energi yang ada, dan menenangkan perasaan  yang menimbulkan kerisauan. Tetapi tidak ada perubahan dalam fisiologis seistimewa ketenangan, yang membuat tubuh  pulih lebih cepat dari rangsangan biologis emosi  yang tidak mengenakkan.Konfigurasi ini mengistirahatkan  tubuh secara menyeluruh, dan juga kesiapan dan antusiasme  menghadapi tugas-tugas dan berjuang mencapai sasaran-sasaran yang lebih besar
5.     
Cinta
Penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa  dekat, bakti, hormat, kasamaran , kasih
Cinta, perasaan kasih sayang, dan kepuasan seksual mencakup rangsangan parasimpatik ( secara fisiologi adalah  lawan mobilisasi ”bertempur atau kabur”yang sama-sama dimiliki  oleh rasa takut maupun amarah. Pola parasimpatetik, yang disebut ”respon relaksasi”, adalah serangkaian rekasi di seluruh tubuh yang membangkitkan keadaan menenangkan dan puas, sehingga mempermudah kerja sama.
6.     
Terkejut
Terkejut, terkesiap, takjub, terpana
Naiknya alis mata waktu terkejut  memungkinkan diterimanya bidang penglihatan yang lebih lebar dan juga cahaya yang masuk ke  retina. Reaksi ini membuka kemungkinan lebih banyak informasi tentang peristiwa   tak terduga, sehingga memudahkan memahami apa yang sebenarnya terjadi dan menyusun rencana rancangan tindakan yang terbaik
7.     
Jengkel
Hina, jijik, muak[2] , mual, benci, tidak suka, mau muntah
Di seluruh dunia  ungkapan hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka, mau muntah  tampaknya sama, dan memberi pesan yang sama  ?
8.     
Malu
Rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib, dan hati hancur lebur



Selanjutnya Rita L Atkinson dkk mengemukakan delapan emosi primer dan situasi yang yang berhubungan , yaitu[3]


No
EMOSI
SITUASI
  1.  
Sedih (dukacita)
Kehilangan orang yang dicintai
  1.  
Takut
Ancaman
  1.  
Marah
Penghalang
  1.  
Gembira
Calon Pasangan
  1.  
Percaya
Anggota Kelompok
  1.  
Muak
Objek yang menjijikkan
  1.  
Antisipasi
Kekuasaan yang baru
  1.  
Terkejut
Benda yang mendadak

Sekanjutnya juga diuraikan aspek primer dan konsekuensinya ( Dari Roseman,1978;1984)

No
Situasi
Emosi
1.      
Diharapkan dan terjadi
Gembira
2.      
Diharapkan dan tidak terjadi
Sedih
3.      
Tidak diharapkan dan terjadi
Distres
4.      
Tidak diharapkan dan tidak terjadi
Lega


KOMPONEN-KOMPONEN EMOSI ( Rita , hal. 86 -88)
Suatu emosi yangkuat mencakup beberapa komponen umum. Yaitu;
1)      Reaksi tubuh internal . Jika marah, misalnya, tubuh anda kadang –kadang gemetar atau suara anda menajdi meninggi, walaupun anda tidak menginginkannya.
2)      Keyakinan atau penilaian kognitif bahwa telah terjadi keadaan positif dan negatif tertentu.hal itu tampaknya terjadinya secata otomatis. Mengalami suatu hal kebahagian, misalnya seringkali melibatkan pemikiran tentang alasan  kebahagian itu.
3)      Ekspresi wajah. Jika anda meraa muak atau jijik, misalnya, anda mungkin mengerutkan dahi, membuka mulut lebar-lebar.
4)      Rekasi terhadap emosi, reaksi ini mencakup reaksi spesifik ( misalnya,kemarahan mungkin menyebabkan agresi) dan reaksi yang lebih global ( misalnya emosi negatif mungkin menggelapkan pandangan dunia anda ke dunia[4]





Reaksi umum dalam keadaan emosional  ( Rita Atkinson ,halaman 116-118 )

Reaksi Umum dalam Keadaan Emosional 

Salah satu komponen utama suatu emosi adalah reaksi berada dalam suatu keadaan emosional. Walaupun sebagian reaksi saat berada di dalam keadaan emosional adalah spesifik untuk emosi yang dialami – mendekati seseorang saat gembira atau menjauhkan diri jika takut, misalnya – reaksi lain tampaknya berlaku pada emosi secara umum. Jelasnya, berada dalam keadaan emosional: (a) dapat memberi kita energi atau mengganggu kita; (b) menentukan apa yang kita perhatikan dan pelajari; dan (c) menentukan pertimbangan apa yang kita gunakan dalam memandang dunia.

Energi dan Gangguan
Berada dalam keadaan emosional kadang-kadang memberikan energi, tetapi di lain waktu dapat mengganggu-tergantung pada intensitasnya pengalaman, individu yang mengalaminya, dan lamanya pengalaman. Berkaitan dengan intensitas, rangsangan emosi yang ringan cenderung menghasilkan kesiagaan dan minat dalam situasi sekarang. Tetapi, jika emosi menjadi kuat, apakah menyenangkan atau tidak menyenangkan, mereka biasanya menghasilkan gangguan pikiran atau perilaku. Pada tingkat rangsangan emosional yang sangat rendah (misalnya, saat terjaga), kita mungkin tidak memperhatikan secara baik informasi sensorik, dan kinerja kita mungkin relatif buruk. Kinerja adalah optimal pada tingkat rangsangan yang sedang.pada tingkat rangsangan emosional yang tinggi, kinerja kita mulai menurun, mungkin karena kita tidak dapat menyalurkan sumber daya kognitif ke tugas yang sedang dilakukan. Tingkat rangsangan optimum dan bentuk kurva berbeda untuk tugas yang berbeda. Kebiasaan yang sederhana dan sudah dipelajari jauh kurang rentan terhadap gangguan oleh rangsangan emosional dibandingkan aktivitas yang lebih kompleks yang tergantung pada integrasi beberapa proses berpikir. Saat mengalami ketakutan yang breat, Anda mungkin maish mampu menyebut nama anda tetapi mungkin tidak dapat bermain catur.
            Jelasnya apa yang berpengaruh pada tingkat berlebihan rangsangan emosional tergantung pada individunya, seperti yang ditunjukkan oleh penelitian perilaku selama krisis seperti kebakaran atau bajir mendadak. Sekitar 15 persen orang menunjukkan perilaku yang efektif dan terorganisasi, menyatakan bahwa tingkat rangsangan emosional optimum mereka tidak terlewati. Sebagian besar orang, sekitar 70 persen, menunjukkan berbagai tingkat disorganisasi tetapi masih mampu berfungsi dengan cukup efektif. Lima belas persen sisanya sangat terdisorganisasi sehingga mereka tidak mampu berfungsi sama sekali; mereka mungkin panik atau menujukkan perilaku yang tidak bertujuan atau sama sekali tidak tepat, menyatakan bahwa mereka berada jauh di atas tingkat rangsangan emosional yang optimalnya (Tyhurst, 1951).
            Kadang-kadang emosi yang kuat tidak dengan cepat dilepaskan tetapi tetap tidak terpecahkan. Mungkin situasi yang membuat seseorang marah (misalnya, konflik yang berkepanjangan dengan guru atau atasan) atau rasa takut (seperti kekuatiran terhadap penyakkit orangtua) terus berjalan untuk waktu yang panjang. Walaupun perubahan fisiologis yang menyertai kemarahan dan ketakutan dapat memiliki nilai adiptif (memobilasi kita untuk melawan atau melarikan diri), jika dipertahankan terlalu panjang mereka dapat menghabiskan kekuatan kita dan bahkan menyebabkan kerusakan jaringan. Dengan demikian tingkat rangsangan yang meningkat secara kronis dapat mengganggu kesehatan individu.       


B.     PENGERTIAN EQ


Reuven Bar-On menyebutkan bahwa EQ adalah serangkaian kemampuan, kompetensi, dan kecakapan non-kognitif, yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan.
Sedangkan menurut Peter Salovey dan Jack Mayer, pencipta istilah “kecerdasan Emosional”, menjelaskan sebagai kemampuan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual. Dengan kata lain EQ adalah serangkaian kecakapan yang memungkinkan kita melapangkan jalan di dunia yang rumit-aspek pribadi, social, dan pertahanan dari seluruh kecerdasan akal sehat yang penuh misteri dan kepekaan yang penting untuk berfungsi secara efektif setiap hari.

Dalam bahasa sehari-hari, kecerdasan emosional biasanya kita sebut sebagai “street smart (pintar)”,atau kemampuan khusus yang kita sebut “akal sehat”. Ini terkait dengan kemampuan membaca lingkungan politik dan social, dan menatanya kembali; kemampuan memahami dengan spontan apa yang diinginkan dan dibutuhkan orang lain, kelebihan dan kekurangan mereka; kemampuan untuk tidak terpengaruh oleh tekanan; dan kemampuan untuk menjadi orang yang menyenangkan, yang kehadiranya didambakan orang lain[5]

Sejarah singkat kecerdasan emosional
Pada tahun  1920-an, pakar psikologi, EdwarThorndike membicarakan sesuatu yang disebutnya sebagai "kecerdasan  social". Selanjutnya, manfaat penting " factor emosi" dikemukakan oleh David Wechsler, salah seorang penemu uji IQ.Pada tahun 1940, dalam sebuah karya ilmiah yang jarana dirujuk Wechsler mendesak agar "aspek non intelectual dari kecerdasn umum" hendaknya disertakan dalam setiap pengukuran "lengkap". Tulisan itu juga membicarakan apa yang disebutnya sebagai kemampuan "afektif" dan "konatif"-pada dasarnya hádala kecerdasan emocional dan social- yang menurutnya Amat penting dalam memberikan gambaran yang menyeluruh. Sayangnya, unsur-unsur ini tidak disertakan dalam uji IQ Wechsler, dan pada saat itu kurang mendapat perhatian
Tahun 1948, peneliti Amerika lainya, R.W.Leeper, memperkenalkan gagasannya tentang "pemikiran emosional". Namun , hanya sebagian kecil psikolog atau pendidik yang menindak lanjuti pemikiran ini sampai  lebih dari 30 tahun kemudian. Salah seorang yang menonjol  adalah ALbert Allis, yang pada tahun 1955 mulai meneliti apa yang kemudian dikenal dengan  sebagai Rational emotive Therapy-suatu proses yang melibatkan unsur pengajaran untuk  menguji emosi manusia secara logsi dan mendalam. Kemudian, pada tahun 1083, Howard Gardner, dari Universitas Harvard, menulis tentang kemungkinan adanya "kecerdasan yang bermacam-macam", termasuk yang disebutnya "kemampuan dalam tubuh"-pada pokoknya adalam kemampuan melakukan introspeksi- dan "kecerdasan pribadi".
Sampai waktu itu, Reuven Bar-On maíz aktif mengerjakan penelitiannya dan sudah menyumbangkan ungkapan "emocional quotient". Istilah "emotional intelligence"diciptakan dan secara resma didefenisikan  oleh John  (Jack) MAyer dari universitas New Hampshire, dan Meter Salovey dari Universitas Yale pada tahun 1990. Mereka  mengembangkan konsep profesor Gardner, yang menetapkan defenisi  kecerdasan emosional bersama sejawatnya David Caruso[6]


Salovey mengemukan ciri-ciri kecerdasan emosional menjadi lima wilayah utama ( Goleman ) [7]
  1. Mengenali emosi diri, Kesadaran  diri –mengenali perasaan  sewaktu perasaan itu terjadi- merupakan dasar emosional. Kemampuan  untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu merupakan hal  penting bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri. ketidak mampuan untuk mencermati perasaan kita yang sesungguhnya  membuat kita berada dalam kekuasaan perasaan. orang yang memiliki keyakinan yang lebih tentang perasaannya adalah pilot yang andal bagi kehidupan meerka, karena mempunyai kepekaan lebih tinggi akan perasaan mereka yang sesungguhnya atau pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadi, mulai dari masalah siapa yang akan dinikahi sampai ke pekerjaan apa yang akan diambil.
  2. Mengelola emosi. menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan pas adalah kecakapan yang bergantung pada kesadaran ini. orang-orang yang buruk kemampuannya dalam keterampilan ini akan terus menerus bertarung melawan perasaan muruhng, sementara mereka yang pintar dapat bangkit kembali dengan jauh lebih cepat dari kemreosotan dan kejatuhan dalam kehidupan.
  3. Memotivasi diri sendiri. menataa emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri, dan untuk berkreasi. kendali diri emosional-menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorong hati-adalah landasan keberhasilan dalam berbagai bidang. dan, mampu menyesuaikan diri dalam “flow” memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi dalam segala bidang. orang-orang yang memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif and efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.
  4. Mengenali emosi oranglain, empati, kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran diri emosional, merupakan, “keterampilan bergaul”dasar. orang yang empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal social yang tersembunyai yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain. orang-orang seperti ini cocok untuk pekerjaan-pekerjaan keperawan, mengajar, penjualan, dan manajemen.
  5. Membina hubungan, seni membina hubungan, sebagian besar, merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain. ini merupakan keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antarpribadi. orang-orang yang hebat dalam keterampilan ini akan sukses dalam bidang apa pun yang mengandalkan pergaulan[8]

            Menurut Mayer (Goleman,65-66),Orang cendrung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka yakni;
L      Sadar diri. Peka akan suasana hati mereka ketika mengalaminya-dapat dimengerti bila orang-orang ini memiliki kepintaran tersendiri dalam kehidupan emosional mereka. Kejernihan pikiran mereka tentang emosi boleh jadi melandasi ciri-ciri kepribadian lain: mereka mandiri dan yakin akan batas-batas yang mereka bangun, kesehatan jiwanya bagus,d an cenderung berpikir positif akan kehidupan. Bila suasana hatinya sedang jelek, mereka tidak risau dan tidak larut ke dalamnya, dan mereka mampu melepaskan diri dari suasan itu dengan lebih cepat. Pendek kata, ketajaman pola pikir mereka menjadi penolong untuk mengatur emosi.
L      Tenggelam dalam permasalahan. Mereka adalah orang yang sering kali merasa dikuasai dan tidak berdaya untuk melepaskan diri, seolah-olah suasan hati mereka telah mengambil alih kekuasaan. Mereka mudah marah dan amat tidak peka akap perasaannya, sehingga larut dalam perasaan-perasaan itu dan bukannya mencari perpsektif baru. Akibatnya mereka kurang berupaya melepaskan diri dari suasana hati yang jelek, merasa tidak mempunyai kendali atas kehidupan emosional mereka. Sering kali merasa kalah dan secara emosional lepas kendali.
L      Pasrah. Meskipun sering kali orang-orang ini peka akan apa yang mereka rasakan, mereka juga cenderung menerima begitu saja suasana hati mereka, sehingga tidak berusaha untuk mengubahnya. Kelihatannya ada dua cabang jenis yang pasrah ini: mereka yang terbiasa dalam suasana hati yang menyenangkan, dan dengan demikian motivasi untuk mengubahnya rendah; dan orang-orang yang, kendati peka akan perasaannya, rawan terhadap suasana hati yang jelek tetapi menerimanya dengan sikap tidak hirau, tak melakukan apa pun untuk mengubahnya meskipun tertekan – pola yang ditemukan, misalnya, pada orang-orang yang menderita depresi dan yang tenggelam dalam keputusasaan.
  

Bagaimana di Indonesia
Kecuali itu program "emotionaL Literacy" juga meningkatkan skor siswa pada prestasi akademis dan kinerja sekolah. Menurut Goleman penelitiann tentang hubungan EI dengan prestasi belajar sudah banyak dilakukan di Amerika dan hasilnya cukup bermakna. Namun penelitiann seperti ini setahu penulis belum pernah dilakukan di Indonesia. Mungkin penelitiann pertama ialah dari Sri Lanawati (1999) yang telah melakukan penelitiann untuk melihat hubungan antatau "Emotional InteLLigence (EI)" dan mtelegensi (IQ) dengan prestasi belajar siswa SMU di Jakarta. Ia menggunakan tes intelegensi CuLture Fair InteLLigence Test (CFIT),
dan untuk prestasi belajar yang tercermin pada nilai rata-rata rapor dari hasil ujian catur wulan III tahun ajaran 1997 - 1998. Sedangkan EI adalah skor yang diperoleh siswa pada alat Emo­tional Intelligence Inventory (ElI) yang telah diadaptasi oleh pe­neliti, meliputi lima dimensi EI, yaitu kesadataun diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan ketrampilan sosial.
Hasil yang diperoleh ialah:
·         Ada hubungan bermakna antatau IQ dan prestasi belajar siswa.
·         Tidak ada hubungan bermakna antatau kecerdasan emosional (EI) dan inteligensi (IQ).
·         Tidak ada hubungan yang bermakna an tatau kecerdasan emosional (E1) dan prestasi belajar. Hasil penelitiann di Indone­sia ini ternyata berbeda dengan hasil penelitiann Goleman di sejumlah sekolah di Amerika, yang menyatakan bahwa pengaruh program EI dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Mungkin perbedaan ini dapat disebabkan antatau lain karena (Sri Lanawati, 1999):
a.       Sistem pendidikan di Indonesia yang lebih berorientasi pada pengembangan kecerdasan rasional, kurang berorientasi pada pengembangan kecerdasan emosional dalam proses belajar mengajar.
b.       Penilaian yang dilakukan di sekolah untuk menentukan prestasi belajar adalah kemampuan rasional, seperti kemam­puan berbahasa dan berhitung. Basic life skills atau kemam­puan seperti mengatasi suatau konflik, bersikap asertif, me­ngendalikan matauh, mengatauhkan diri, berempati dan ke­trampilan sosial cenderung tidak dinilai.
c.       Banyak tenaga pendidik yang belum mengenal atau sadar akan perlunya menanggapi emosi yang dialami siswa.
d.       Dalam proses belajar-mengajar di Indonesia salah satu ranah pendidikan yang dikembangkan adalah ranah afektif Tujuan pendidikan afektif adalah untuk membentuk suatu sikap yang positif terhadap satu atau beberapa komponen pendidikan. Sikap itu akan mempengaruhi pengembangan kognitif dalam bidang studi tersebut (Winkel, 1987: 16). Namun menurut Goleman pendidikan afektif itu sangat berbeda dengan pendidikan emosi. Pendidikan emosi bukan meng­gunakan perasaan untuk mendidik, melainkan mendidik perasaan itu sendiri (Goleman, 1995: 262).
e.       Siswa bel urn pernah memperoleh pendidikan pengenalan e~osi sendiri, baik di sekolah maupun dalam keluarga, se­hmgga mereka .cenderung buta emosi (emoftionaf illiteracy), atau merasa asmg dengan emosi sendiri, tidak sadar akan emosi yang muncul dan tidak tahu bagaimana mengendali­kan emosi serta bagaimana mengungkapkan emosi secatau benar.

Menurut Goleman peran keluarga sangat penting dalam pendidikan emosional. Bagaimana cara orangtua memperlakukan anaknya sejak. kecil berakibat mendalam dan permanen bagi kehidupan emosional anak (Lanawati, 1999, 102 - 104).
Menyingkap mitos dalam emosi
1.    emosi itu lebih lemah Karen lebih primitife daripada akal. Titak perlu disangkal lagi bahwa dalam otak manusia yang berovolusi, amigdala, tempat saraf emosi, adalah bagian yang lebih tua daripada neokorteks, tempat saraf nalar. Namun, tidaklebih primitif.bagian emosional dan rasional otak berevolusi bersama-sama bahkan saling terkait, baik secara struktural maupun biokimia, senantiasa bekerja sama dalam lingkaran umpan balik (feedback loop). Melalui mekanisme kerja sama ini, kita tidka hanya mencapai perlindungan diri primitif, tetapi juga canggih, empati, keluwesan bergaul dan, pengetahun-diri yang tidak terbatas.
2.    emosi itu berbahaya. Memang, luka emosional itu sangat menyakitkan, tetapi merasakannya tidak akan membunuh anda. Bahkan sebaliknya.beberapa tahun silam, di Center for Healing Art, pusat kesehatan holistik pertama di Los Angeles, saya mengepalai sebuah penelitian yang mengaitkan pertahanan hidup dengan perimaan emosi mendalam. Salah satu faktor yang sama-sama dimiliki oleh orang yang berhasil bertahan hidup dan orang-orang yang berpotensi bertahan hidup adalah kemampuan mereka mengalami berbagai jenis emosi mendalam, termasuk rasa takut, marah, senang, dan cinta. Kami juga mengamati sekelompok orang sehat yang melaporkan huhungan yang baik antara diri mereka dengan emosi mereka yang mendalam dankami menemukan bahwa peluang mereka untuk tetap sehat lebih baik daripada orang yangmengabaikan atau takut pada emosi mereka.
Seprti halnya sakit fisik, sakit emosional adalah peringatan, dan harus diperhatikan, jika tidak, sakit emosional kerap menajadi penyakit fisik kronis. Sebagi contoh,k ketika penderita migrain diajari untuk mengenali dan menanggapi kejadian-kejadian bermuatan emosional, sakit kepala mereka biasanya lenyap.
3.    kendali diri berasal dari memendam perasaan. Yang kita cela sebagai perilaku tidak pantas dan antisosial lebih banyak disebabkan oleh pembisuan daripada pengungkapan emosi. Sebagai contoh, berbagai penelitian meruntuhkan anggapan populer bahwa kemarahan adalah penyebab perilaku agresif yang diduga terlepas setelah minum-minuman keras. Psikolo G. Alan Marlantt menyimpulkan bahwa hubungan antara minuman keras dankemarahan lebih bersifat sosial daripada psikologis. Orang menggunakan minuman keras seperti mereka menggunakan kemarahan: sebagai pemebanaran untuk melakukan sesuatu yang ingin mereka lakukan. Dalam budaya yang tidak mengizinkan perilaku agresif, orang bisa minum banyak alkohol, tetapi tidak marah atau bertindak kasar.
Kita menganggap kita tidak bisa membuat keputusan yang baik tanpa fakta, namun kita menganggap kita bertindak bijaksana tanpa informasi yang diberikan perasaan. Emosi adlah sumber daya yang tidak tergantikan; melaui umpan balik sifik seketika, emosi memberitahu kita apakah sesuatu keputusan atau tindakan tepat bagi kita. Kendali diri tidak diperoleh melalui mengendalikan perasaan, teatpi melalui perasakan perasaan kita.
4.    emosi ada yang baik dan ada yang buruk. Semua emosi berasal dari bagian otak yang sama. Tidak bisa kita mengehentikan emosi yang menyakitkan, tetapi tetap mau sepenuhnya menikmati emosi yang menyenangkan. Semua emosi itu baik: semuanya inforamasi dan biasanya konstruktif. Sebagai contoh, bearpa banyak kesalahan yang akan diperbaiki tanpa didorong dulu oleh kemarahan? Sama halnya, kepedihan emocional dapat menjadi pengingat untuk Bangui, untuk memperhatikan sesuatu dalam hidup yang perlu diubah. Kesediah dan duka memungkinkan kita merasakan kehilangan, dengan cara yang memberi peluang untuk laihirnya kembali energi dan semangat untuk hidup. Rasa takut murni, yang dibedakan dengan pikiran yang dinalarkan tentang hal-hal menakutkan, memicu tindakan untuk menyelamatkan jira. Semua emosi yang dirasakan secara mendalam menyampaikan pesan yang perlu kita dengar.
5.    emosi mengaburkan penilaian kita. Kita bekerja paling baik dengan lebih sedikit masukan, bukan lebih banyak, dari neokorteks. Para pakar neurologi menemukan bahwa keadaan lancar (flor state) saat kita mengerjakan tugas yang paling menantang dalam bidang tertentu, ditandai dengan kegiatan neokorteks yang paling sedikit daripada dalam pelaksanaan tugas biasa. Adapula peningkatan mental yang kita peroles dari adrenalin saat gugup atau takut – asaltan kita merasakan emosi secara fisik. Jika kita mengerutkan tubuh seperti yang kita lakukan ketika menekan emosi, aliran oksigen ke otak kita terhalang.
Emosi murni tidak mengganggu proses kognitif, tetapi kita meyakini sebaliknya karena kita menganggap memikirkan perasaan adalah mengalami emosi. Di situlah kita terjerumus. Kesibukanmental kita untuk menghindari pengalaman fisik emosi menggangu kekuatan otak untuk membuat keputusan sehingga mengaburkan penilaian kita.

Penutup
Dari pengalaman di luar negeri maupun di Indonesia dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional memang diperlukan di samping kecerdasan rasional dan bahwa pendidik, orangtua serta guru secepatnya diberi kesempatan untuk mengikuti program yang membamu mereka bagaimana dapat menemukenali dan memaham emosi-emosl diri emosi-emosi orang lain, terutama dari generasi, penentu masa depan bangsa dan negara.


·         Gardner, H. (1993). Multiple Intelligences, The Theory In Practice. NY: Basic Books/Harper Collins.
·         Goleman, D. (1995). Emotional Intelligence. New York: Bantam Books. Guilford, ].P. (1959) Traits of Creativity. Dalam P.E.Vernon, Ed. (1982), Creativity. Connecticut: Creative Learning Press.
·         Renzulli, J.S. Reis, S.M., Smith, L.H. (1981). The Revolving Door Identification Model. Connecticut: Creative Learning Press.
·         Sri Lanawati (1x999). "Hubungan antatau Emotional Intelligence (EI) dan Inteligensi (IQ) dengan Prestasi Belajar Siswa SMU Methodist di Jakarta". Tesis Magister Psikologi. Program Pascasarjana, Pro­gram Studi Psikologi, Universitas Indonesia.
·         Vernon, P.E. (1982, Ed.) Creativity. Great Brittain: Penguin Books.




[1] Sebagaimanan dinyatakan oleh Paul Ekman, " amarah adalah  emosi yang paling berbahaya; sejumlah masalh  utama yang menghancurkan kehidupan masyarakat  dewasa ini melibatkan gejolak  amarah. Amarah adalah emosi yang paling sulit diajak beradaptasi, karena amaraha mendorong  kita untuk bertikai. Emosi kita berevolusi bila kita tidak mempunyai  teknologi  untuk bertindak  dengan daya tinggi terhadap emosi itu. Dalam zaman prasejarah, apabila anda mendadak marah  dan selama sedetik ingin membunuh seseorang, anda  tidak mampu melakukannya dengan amat  mudah—tetapi sekarang anda dapat melakukannya
[2] Menurut Darwin ( 1872 ) Istilah "muak,"  dalam pengertiannya yang paling sederhana, berarti sesuatu yang tidak menyenangkan bagi pengecap. Tetapi rasa muak juga dapat menyebabkan kejengkalan, umumnya disertai oleh muka yang memberengut, dan seringkali oleh gerakan seolah-oleh ingin menjauhkan  diri atau menghindar  dari objek yang mengganggu. Rasa muak yang ekstrim  diekspresikan oleh gerakan di sekitar  mulut  yang mirip dengan  gerakan awal  orang yang akan muntah. Mulut terbuka lebar, dengan bibir atas  tertarik kuat. Kelopak mata tertutup  sebagian atau mata atau seluruh tubuh mencoba memaling menjauh dari objek yang menganggu, sangat ekspresif  untuk ekspresi menghina. Tindakan tersebut tampaknya menyatakan bahwa orang yang  dipandang rendah tidak pantas untuk dilihat, atau tidak enak dipandang. Rupanay meludah meruapakan tanda yang hamper universal untuk menyatakan  rasa jijik atau rasa muak, dan meludah jelas merupakan  penolakan terhadap sesuatu yang tidak menyenangkan  diri mulut ( dikutip dari Rita L.Atkinson, Pengantar Psikologi, jil. 2. ed. 12, hal. 110-111
[3] Rita L.Atkinson dkk,Pengantar Psikologi,  jil.  dua  ed.12 .Interaksara, tt,  hal. 102
[4] Rita L.Atkinson dkk,Pengantar Psikologi,  jil.  dua  ed.12 .Interaksara, tt,  hal. 87

[5] Stefen J. Stein, Howard. Ledakan EQ 15 prinsipDasar kecerdasan Emosional Meraih Sukses, Kaifa, bandung :2002, hal. 30-31
[6] Stefen J. Stein, Howard. Ledakan EQ 15 prinsipDasar kecerdasan Emosional Meraih Sukses, Kaifa, bandung :2002, hal. Hal.31-32
[7] Defenisi dasar kecerdasan emosional berasal dari karangan Salovey dan Mayer, " Emotional Intelligence"p. 189
[8] Daniel Goleman,Kecerdasan Emosional, Gramedia,2003. hal 57-59

1 komentar:

  1. Makasih mbak Rika................artikel anda membantu dalam penyusunan Tesis saya. Semoga Allah melimpahkan rejeki yang melimpah buat anda. Aamiin.

    BalasHapus